Difference (perbedaan)
Suatu ketika seorang pemuda mendatangi suatu desa dengan perawakan yang sedikit gondrong dan bertattoo. Pada saat itu salah satu rumah di desa tersebut
terjadi peristiwa kemalingan di siang hari, seketika didepan rumah sang korban menjadi
ramai. Tiba-tiba lewatlah sosok yang dengan perawakan gondrong dan bertatto, dialah La Baco. La Baco berjalan melintasi rumah korban
tersebut, namun perjalanan La Baco dihentikan oleh warga yang sedang berkumpul tadi. Tanpa pikir panjang, warga yang
berkumpul itu mengeroyok La baco, hanya
karena dia berambut panjang dan bertatto sehingga warga mengira La Baco inilah pelaku dari pencurian tadi. Bagaimanakah perasaan La Baco yang dihukum tanpa diberikan
kesempatan untuk menjelaskan dirinya?
Tapi ini bukan tentang La Baco. Ini tentang perumpamaan kita dalam
kehidupan Islam sekarang, terkadang kita hanya bisa menghakimi
seseorang sesaat tanpa memberikan orang lain kesempatan untuk menjelaskan
pemahamannya. Kita sibuk menjudge pemahaman
orang lain adalah ajaran yang sesat dan tidak pernah berniat untuk mengkaji lebih
dalam hal tersebut. Jangankan mengkaji pendapat dari orang lain, untuk mengkaji pendapat apa yang kita
yakini saja sebagai kebenaran pun tidak pernah
kita kaji sedangkal mungkin. Namun dengan gagahnya kita mengklaim bahwa
yang memiliki kebenaran mutlak adalah kita sendiri dan yang
lainnya adalah orang-orang yang sesat.
Apakah seperti itu yang diajarkan oleh Baginda Rasulullah Muhammad SAW.? Bukankah Rasulullah datang sebagai رحمة للعالمين, sedangkan ketika kita maknai kata rahmat itu, maknanya adalah kasih
sayang. Apakah mencerminkan ajaran yang dibawa Rasulullah
sebagai ajaran kasih saying, jika kita hanya sibuk menjudge orang lain
sebagai orang sesat bahkan sampai memusuhi orang tersebut. Pada hakikatnya, perbedaan itu
terdapat keindahan didalamnya.
Dalam salah satu adagium populer: “Ambillah hikmah walau dari mulut anjing
sekalipun”. Sebagai muslim
yang cinta terhadap perbedaan, tidak semestinya kita memusuhi orang
yang berbeda pemahaman dengan kita. Parahnya lagi, perbedaan itu menghasilkan suatu
kedengkian hingga membuat perpecahan didalam internal kita itu sendiri.
Juga sedikit mengutip dari perkataan Ki Hajar Dewantara: “Setiap
manusia adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah”. Ini sejalan dengan adagium yang disebutkan tadi bahwa kita jangan
menilai sesuatu hanya dari siapa yang mengatakannya, akan tetapi
nilailah dari apa yang diucapkan oleh orang tersebut.
Tidakkah kita belajar dari kisah dari Zaid bin Tsabit dan Ibnu ‘Abbas? Zaid bin
Tsabit al-Anshari dan Ibnu 'Abbas bukanlah dua orang yang selalu sepakat dalam
hal pemikiran. Keduanya yang merupakan ahli fiqih tercatat pernah
berselisih pendapat seputar bab warisan (farâidl). Hanya saja, kearifan dan
akhlak terpuji mereka menjadikan perbedaan itu sebagai sesuatu yang wajar.
Jadi sebagai Muslim intelek kita harus cerdas dalam
menghadapi suatu perbedaan. Bukan membenci yang berbeda dengan kita, juga tidak saling
menjelekkan karena perbedaan yang kita hadapi. Disitulah letak keindahan
daripada budaya To Ugi yaitu Tudang sipulung. Kita duduk bersama untuk saling
menghargai perbedaan yang terjadi ditengah-tengah kita. Sehingga apa yang dirasakan La Baco tidak
dialami oleh orang yang pendapatnya minoritas disekitar kita.
Sekian,
Wassalam..
Belajar, Berjuang, Bertaqwa.
Selasa, 10 Oktober 2023
Penulis: Kader IMPS Koperti UINAM
Editor: Neylaa Khadijah Dwysezha AS (Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Periode 2023-2024)